Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Pendidikan

Saprin Lamusu dan Sekolah Pitate Kelas Jauh yang Kini Menjadi Negeri

1810
×

Saprin Lamusu dan Sekolah Pitate Kelas Jauh yang Kini Menjadi Negeri

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Di tengah barisan bukit berbatu yang membentang di utara Gorontalo, berdiri sebuah dusun kecil bernama Putiana. Dari pemukiman sebagai jalan Trans Sulawesi penghubung utama dari Kota Gorontalo menuju Sulawesi Tengah tersaji panorama pegunungan yang seakan menari dalam kabut pagi. Udara sejuk memeluk dedaunan, dan sesekali terdengar suara embikan kambing atau lenguhan sapi yang menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan para petani di sana.

Warga Putiana adalah petani ulet yang menggantungkan hidup dari hasil kebun. Namun, di balik keheningan desa ini, tersembunyi satu kisah perjuangan yang mungkin tak akan dikenal banyak orang kisah tentang bagaimana sebuah sekolah bisa hadir di tengah keterisolasian, berawal dari dinding pitate dan atap rumbia, hingga menjadi sekolah negeri yang kini bernama SDN 16 Anggrek.

Example 300x600

Kisah ini bermula dari seorang guru honorer bernama Saprin Lamusu, dan sebuah mimpi sederhana: agar anak-anak Putiana tak lagi harus berjalan kaki belasan kilometer ke desa tetangga Popalo di sebelah timur atau Ilangata di sebelah barat demi mengenyam pendidikan dasar.

Tahun 2008 adalah tahun penuh harapan. Pak Saprin dan istrinya, Yulyanti Nusa, pasangan muda dengan semangat mengabdi dan berencana mengabdikan diri di dunia pendidikan. Daripada menganggur di rumah, keduanya memutuskan untuk mendatangi Cabang Dinas Pendidikan Anggrek yang waktu itu dipimpin oleh Ibu Nur Alamri.

“Istri saya ingin mengajar di SMK Popalo. Tapi dari Bu Nur Alamri malah kami disarankan untuk mendirikan sekolah di Putiana saja,” kenang Pak Saprin.

Saran itu, yang bagi orang lain mungkin terasa seperti beban besar, justru diterima dengan tangan terbuka. Meski belum ada gedung, belum ada murid yang pasti, dan bahkan belum ada tanah resmi untuk lokasi sekolah, Pak Saprin dan istrinya mulai mendata anak-anak usia sekolah di sekitar Putiana.

Saat itu, Putiana masih menjadi bagian dari Desa Popalo. Maka setelah melakukan pendataan, Pak Saprin mendatangi Kepala Desa Popalo, Sudirman Pomalingo. Hasil musyawarah sederhana antara keduanya berujung pada satu kesepakatan: sekolah harus berdiri, bagaimana pun caranya.

Warga Putiana, yang sebagian besar adalah petani dengan penghasilan pas-pasan, patungan Rp 25.000 per kepala keluarga. Tak cukup untuk mendirikan bangunan permanen, tetapi cukup untuk membuat rangka sederhana dari kayu, dinding dari anyaman bambu (pitate), dan atap dari daun rumbia.

“Saya bahkan menggadaikan BPKB motor Honda Revo saya waktu itu,” kata Pak Saprin sambil tersenyum getir. Dana hasil gadai itulah yang digunakan untuk mengurus surat izin pendirian sekolah dan juga untuk pembayaran lahan.

Bangunan sekolah dengan ukuran 16×7 itupun pun berdiri di atas lahan. Ruangannya satu, dengan bangku-bangku panjang dari papan yang kaki-kakinya langsung dipatok ke tanah. Lantainya juga tanah. Jika musim hujan datang, halaman sekolah berubah jadi kubangan lumpur.

“Papan tulisnya cuma dari triplek, pakai kapur tulis. Meja guru, kursi guru, sama seperti meja murid, semuanya menancap di tanah,” kenang Nirmawati Asuwadi, salah satu alumni yang pernah merasakan belajar di sekolah itu pada masa awal.

Tahun 2009 datang secercah harapan baru. Bantuan dua ruang kelas dari pemerintah turun untuk SDN 1 Putiana, yang saat itu masih berstatus “kelas jauh” dari SDN 1 Popalo (sekarang SDN 2 Anggrek).

Namun, tantangan kembali muncul. Bahan bangunan yang dibutuhkan untuk pembangunan belum lengkap. Rangka atap harus dibuat dari kayu mangrove, karena hanya itu yang tersedia dan bisa diakses. Tanpa sepengetahuan pihak berwenang, warga mengambil kayu tersebut.

“Sempat hampir dipukul tentara,” ujar Pak Saprin, “karena ternyata mereka tahu kami ambil kayu mangrove tanpa izin.”

Namun setelah menjelaskan bahwa kayu itu untuk pembangunan sekolah, para anggota TNI hanya memberikan teguran keras. “Mereka minta kami jangan ambil lagi tanpa izin. Tapi mereka juga paham perjuangan kami,” lanjutnya.

Pada Oktober 2009, sekolah sederhana itu diresmikan. Meski masih berdinding pitate, Sekretaris Daerah Kabupaten Gorontalo Utara saat itu, Indra Yasin (yang kemudian menjadi Bupati Gorontalo Utara), secara simbolis meresmikan sekolah yang lahir dari gotong royong warga dan keberanian seorang guru honorer.

Namun sekolah itu baru resmi menjadi SD Negeri yang definitif pada tahun 2012, di bawah kepemimpinan kepala sekolah pertama, almarhumah Lihawa Mobonggi. Setelah itu berturut-turut jabatan kepala sekolah diisi oleh almarhum Dauhan Gusasi, Abdul Rajak Rauf, almarhum Lahmudin Pakaya, dan kini Wisnawati Abubakar, S.Pd.

Menariknya, nama “SDN 1 Putiana” kemudian diganti menjadi “SDN 16 Anggrek” seiring reorganisasi nama-nama satuan pendidikan di Gorontalo Utara. Namun bagi warga, nama lamanya tetap hidup dalam ingatan.

“Saya merasa sekolah ini seperti anak sendiri. Lahir dari rahim kegelisahan,” ucapnya pelan.

Tak jarang, Pak Saprin berjalan kaki menyusuri dusun demi mencari anak yang tidak masuk sekolah. “Kadang mereka bantu orang tua di kebun, tapi saya selalu berusaha ajak mereka kembali ke kelas,” tambahnya.

Hingga kini, Pak Saprin masih berstatus sebagai tenaga honorer yang dibayar melalui dana BOS, Tapi itu tak menghalangi semangatnya.

“Saya bukan mengajar karena gaji. Saya mengajar karena anak-anak ini punya hak yang sama untuk belajar,” katanya.

Kini, SDN 16 Anggrek telah memiliki bangunan permanen, guru-guru tetap, dan fasilitas yang jauh lebih baik dibanding 17 tahun lalu. Tapi di balik semua itu, ada satu nama yang tak boleh dilupakan: Saprin Lamusu.

“Saya hanya berharap, semoga pemerintah bisa lebih memperhatikan nasib guru-guru honorer seperti kami. Agar kami bisa terus mengabdi tanpa dihantui rasa khawatir soal masa depan,” tutupnya lirih.

Suara ayam berkokok dari kejauhan mengiringi senyumnya. Di matanya, terpancar kepuasan yang tak bisa diukur dengan nominal: kepuasan karena melihat anak-anak Putiana kini tak lagi berjalan jauh untuk sekolah. Karena mereka sudah punya tempat belajar sendiri berkat tekad, air mata, dan kerja keras seorang guru bernama Saprin Lamusu.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *